Meski belum dapat dipastikan, kapan pertama kali pertama circumcision dilakukan, namun tindakan ini secara sporadic dilakukan di seluruh dunia. “Makanya sirkumsisi atau yang dikenal masyarakat Indonesia dengan istilah sunat atau khitan, dikatakan sebagai budaya yang mendunia,” jelas dr. Moh Adjie Pratignyo, SpB dalam Munas Asosiasi Dokter Khitan Indonesia (ASDOKI), 5-6 Mei 2018.
Dalam riwayat, di Mesir jaman dahulu jika terjadi perang pada tahanan yang kalah maka dilakukan sirkumsisi, demikian halnya dilakukan pada budak-budak saat itu, sebagai sebuah tanda. Di Eropa di jaman pertengahan, sunat dilakukan pada anak laki-laki yang menginjak masa dewasa (baligh). Sekaligus menjadi tanda bahwa anak laki-laki tersebut sudah mampu bereproduksi.
Baru kemudian, Sir Frederick Treves melakukan tindakan sirkumsisi sesuai dengan prosedur sunat sekarang ini. “Ini yang kemudian dilakukan sampai sekarang oleh tenaga medis dunia termasuk Indonesia,” jelas dr. Adjie.
Long Skin Short Mucosa
Sirkumssi secara keseluruhan dapat dilakukan atas tujuan Agama, Budaya dan Medis. Sebagai professional, dokter harus tahu mengenai anatomi, dan juga alat sirkumsisi yang digunakan, baik electric cauter atau teknologi sirkumsisi modern seperti klem yang digunakan.
Tujuan utama sirkumsisi adalah membuang mukosa sebanyak mungkin untuk mencegah berbagai kondisi penyakit. Tindakan ini harus dilakukan secara aman, dengan komplikasi minimal. Sebagai contoh trauma glans seharunya sudah tidak terjadi di era sirkumsisi modern menggunakan klem.
Lebih lanjut, dr. Adjie mengatakan tindakan sirkumsisi paling baik dilakukan pada bayi. Dengan berbagai keunggulan tidak perlu jahitan, penyembuhan lebih cepat, minimal perdarahan, dan dapat mencegah penyakit terkait kelamin, serta tidak menimbulkan trauma pada anak.